Kompas Edisi Kamis 31 Maret 2016 |
Negosiasi Kultural Jadi Penyelesaian
Panglima TNI: Filipina Tahu Lokasi Penyanderaan
JAKARTA, KOMPAS — Selain langkah diplomatik, upaya pembebasan 10 warga negara Indonesia, anak buah kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 yang kini disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina, seyogianya juga melalui negosiasi kultural. Upaya pembebasan dengan operasi militer idealnya menjadi jalan terakhir.
Negosiasi kultural itu, menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Jakarta, Hikmahanto Juwana, misalnya dapat dilakukan dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi umat Muslim terbesar di dunia. Indonesia juga telah berbuat banyak untuk mendorong perdamaian antara masyarakat di Mindanao di Filipina selatan dan Pemerintah Filipina.
”Upaya lain dengan mencari pemimpin Abu Sayyaf atau orang lain yang memiliki pengaruh pada pemimpin Abu Sayyaf. Orang itu yang akan bernegosiasi agar pembajak membebaskan sandera,” kata Hikmahanto di Jakarta, Rabu (30/3).
DAYA SAING
Peraturan Daerah Belum Mendukung Kompetisi
JAKARTA, KOMPAS — Untuk kesekian kali, Presiden Joko Widodo mengajak bangsa Indonesia untuk berani berkompetisi. Namun, seruan itu belum diikuti dengan deregulasi peraturan- peraturan di daerah yang sangat menghambat daya saing.
Daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan banyak negara, antara lain karena biaya logistik yang masih mahal dan prosedur perizinan usaha yang masih berbelit. Sejak tahun lalu, pemerintah berkomitmen mendorong peningkatan daya saing melalui percepatan pembangunan infrastruktur, memangkas perizinan, dan melakukan deregulasi.
Saat acara "Dialog Publik dengan Presiden" yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta, Rabu (30/3), Presiden mengatakan, kecepatan bertindak dan mengambil keputusan sangat penting. Deregulasi akan membuat pengambil keputusan bisa bertindak lebih cepat. Dalam jangka pendek ini, deregulasi dan pembangunan infrastruktur menjadi prioritas untuk mendorong daya saing karena selama ini Indonesia sangat tertinggal.
PENATAAN PASAR IKAN
”Ya, Namanya Warga Kecil, Kami Bisa Apa?”
Keluarga ini, di tengah impitan ekonomi, sadar tinggal di lokasi ilegal. Mereka tidak menolak pindah, tetapi tidak setuju cara terburu-buru dan solusi yang abu-abu. ”Kami tidak menolak pindah, tetapi kok kami kayak bukan warga negara, ya?” kata Onta (60), warga Pasar Ikan.
Jalan dari potongan kayu itu berderit-derit saat dilalui, Rabu (30/3) siang. Berjalan tertunduk, Onta menapaki jalan yang dahulu dibuatnya itu, mengabaikantetangganya, segera menuju rumahnya. Awan hitam berarak di langit Pasar Ikan, RT 001 RW 004, Penjaringan, Jakarta Utara.
Istrinya, Saiti (55), telah menyiapkan makanan. Sepiring nasi dan sepotong ikan cakalang goreng berlumur cabai merah terhidang di lantai rumah. ”Sejak ada rencana penertiban di sini, makan apa pun tidak enak. Tidur apalagi. Orang mau digusur, kok, kayak begini caranya,” keluh Onta, yang bekerja sebagai pengantar air ke kapal.
No comments:
Post a Comment