Kompas Edisi Minggu 15 November 2015 |
Mimpi Buruk Perancis Menjadi Kenyataan
Dunia Bersatu Mengecam Serangan Teror di Paris
PARIS, SABTU — Mimpi buruk yang dikhawatirkan badan anti teror Perancis menjadi kenyataan. Serangan bersenjata secara simultan di sejumlah lokasi mengguncang Paris, Jumat (13/11) malam. Presiden Perancis Francois Hollande menyatakan perang terhadap Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang mengklaim serangan berdarah tersebut.
Tak kurang dari 128 orang tewas akibat rangkaian serangan di rumah makan, bar, stadion sepak bola, sejumlah tempat yang ramai dikunjungi warga pada akhir pekan. Serangan teror terburuk di Paris ini membuat Hollande mengumumkan status darurat dan menutup perbatasan. Hollande juga menyatakan tiga hari berkabung nasional.
”Ini adalah kejadian horor,” ujar Hollande kepada media, Sabtu (14/11) dini hari, di depan gedung pertunjukan Bataclan, salah satu lokasi serangan yang paling banyak menelan korban. Disebutkan, serangan-serangan itu dipersiapkan dengan baik, terorganisasi, dan direncanakan oleh pihak-pihak di luar negeri, dan dibantu orang dari dalam Perancis.
Teror di PARIS
Kemanusiaan di Tengah Kengerian Sebuah Kota
Teror datang diam-diam ke kota Paris, lalu mengejutkan warganya dengan kengerian, Jumat (13/11) malam. Serangkaian serangan dengan senapan mesin dan bahan peledak menewaskan tak kurang dari 128 orang. Ratusan orang cedera dan puluhan di antaranya kritis.
Menghadapi rentetan serangan itu, transportasi umum dihentikan pihak berwenang. Jalur 3, 5, 8, 9, dan 11 kereta bawah tanah Paris dihentikan, membuat banyak orang telantar, tak bisa pulang, saat sebagian warga di ibu kota Perancis itu menghabiskan malam di restoran, bar, dan gedung pertunjukan.
Dalam kengerian malam itu, tetap ada orang yang memikirkan bagaimana sedapat mungkin membantu sesama. Tak lama setelah berita mengenai serangan itu beredar di dunia maya, pengguna media sosial memunculkan tagar #PorteOuverte (pintu terbuka). Tagar itu untuk mengorganisasikan tempat menginap bagi mereka yang tak bisa pulang, terutama di Distrik (Arrondissement) ke-10 dan ke-11, tempat serangan terjadi.
KEHIDUPAN
Korea, Ginseng, dan Kesabaran Menanam
Sampai jauh tengah malam lampu-lampu di sebagian besar gedung di kota Seoul tetap menyala. Itu pertanda banyak pekerja yang belum pulang. Kerja keras dan lebih keras lagi telah membawa Korea Selatan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia. Ketekunan itu berakar dari kesabaran yang merebak harum dari tumbuhan ginseng di pedesaan….
Ginseng di Korea telah menjadi ikon negara. Akar tanaman dewa ini bahkan telah resmi menjadi cendera mata negara yang diberikan kepada tamu kehormatan. Mereka yang pernah menerima ginseng ini, antara lain, adalah Presiden Tiongkok Xi Jinping, Ratu Elizabeth II dari Inggris, Presiden Perancis Francois Mitterrand, dan Paus Yohanes Paulus II. Biasanya, kaleng ginseng yang bertuliskan Cheong Kwan Jang itu berisi 14 akar ginseng merah yang usianya lebih dari 10 tahun. Cheong Kwan Jang adalah perusahaan terbesar yang mengolah ginseng air (basah) menjadi ginseng merah selama ratusan tahun. Pabrik mereka di Buyeo City, kira-kira dua jam perjalanan dari Seoul, setidaknya memproduksi 8.000 ton ginseng merah per tiga bulan masa produksi.
”Ginseng telah menjadi kebanggaan bangsa Korea karena itu simbol kerja keras dan tanda bakti di sini,” tutur Jin-taek Ahn, Manager Department Public Relations Korea Ginseng Corp, dalam perjalanan dari Seoul menuju Yeoju City, akhir Oktober 2015 . Kami menuju Desa Seowon-li, dekat Yeoju, di mana seorang petani bernama Kang Pyung-hwan, akan memanen ginseng. Tak mudah menghadiri acara panen ginseng. Petani percaya mitos, hasil panen bisa jelek kalau dihadiri orang luar.
No comments:
Post a Comment