Kompas Edisi Minggu 24 Juli 2016 |
Anak Tanggung Jawab Bersama
Gerakan Bersama Lindungi Anak Dicanangkan
MATARAM, KOMPAS — Tantangan untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak kian bertambah berat. Maka, pemerintah menyerukan agar semua pihak terlibat dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Seruan tersebut disampaikan pemerintah melalui Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani pada peringatan Hari Anak Nasional di Lapangan Sangkareang, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (23/7). Ia mencanangkan Gerakan Bersama Lindungi Anak.
”Dengan mengangkat tinggi- tinggi payung merah putih ini, mari membangun gerakan bersama lindungi anak. Semoga peringatan ini tak hanya menjadi seremonial, tetapi juga membuat semua lapisan masyarakat mau melindungi anak,” kata Puan dalam acara yang dihadiri sekitar 3.000 anak dari Nusa Tenggara Barat dan perwakilan setiap kabupaten dan kota di Indonesia.
Terorisme
Strategi Persuasif Tetap Dikedepankan
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai strategi persuasif tetap dikedepankan untuk menyadarkan para anggota kelompok garis keras agar tidak lagi terlibat terorisme. Namun, operasi keamanan tetap berlanjut untuk mengejar kelompok teroris yang menolak menyerahkan diri.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius, yang dihubungi melalui telepon dari Jakarta, Sabtu (23/7), mengatakan, dengan tertangkapnya istri pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso, Umi Delima, maka pengikutnya yang masih tersisa diperkirakan tinggal 18 orang lagi. Pemerintah dan aparat keamanan terus mengimbau mereka segera menyerahkan diri agar mendapat pengampunan.
”Langkah persuasif agar mereka mau menyerahkan diri tetap dikedepankan oleh aparat keamanan gabungan TNI dan kepolisian. Imbauan agar mereka menyerahkan diri juga sudah sering disampaikan. Seperti sudah disampaikan Menko Polhukam dan Kapolri, jika mereka mau menyerahkan diri, justru akan dipertimbangkan keringanan,” kata Suhardi.
Selisik Batik
Keindahan di Kantong Buruh Migran
Menjadi pembatik di wilayah eks Karesidenan Banyumas adalah jalan terakhir. Banyak perempuan muda memilih merantau ketimbang menjadi pembatik. Setelah letih dimakan usia dan menua, barulah mereka kembali melirik batik. Batik tak memberi harapan. Lantaran itulah, mereka memilih menjadi buruh migran.
Sesungguhnya batik secara turun-temurun menjadi bagian dari irama napas keseharian di pedesaan banyumasan. Rominah (44) pernah merantau ke Pulau Pinang, Malaysia, sebelum kembali menekuni profesi lama sebagai pembatik di Desa Papringan, Banyumas. Kala itu, krisis ekonomi sedang berkecamuk dan berimbas pada kehidupan rumah tangganya. Meski takut, ia memilih meninggalkan batik, lalu bekerja sebagai pekerja rumah tangga selama dua tahun di negeri tetangga.
Ketika ditemui di Galeri Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pringmas di Desa Papringan, Banyumas, yang dikelola sesama warga desa dengan bantuan modal awal dari Bank Indonesia, Rominah sibuk menjemur lembaran batik yang baru saja diwarnai. Ia menjemur batik bersama Soimah (39) dan Naryuti (35) yang kini juga membatik. Sebelumnya, mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia, Singapura, dan Hongkong.
No comments:
Post a Comment