Kompas Edisi Rabu 10 Februari 2016 |
Pers Harus Bangun Optimisme
Presiden: Media Massa Bisa Menjadi Cahaya Moral
MATARAM, KOMPAS — Dunia pers turut bertanggung jawab membangun bangsa dan meningkatkan daya saing di era globalisasi. Salah satunya dengan menyajikan pemberitaan yang beretika, membangun optimisme dan etos kerja, sehingga menghasilkan produktivitas tinggi.
"Di era kompetisi antarnegara saat ini, yang dibutuhkan kepercayaan. Investasi akan mengalir apabila ada kepercayaan dan salah satunya dihasilkan oleh media dengan membangun persepsi melalui pemberitaan," ujar Presiden Joko Widodo pada acara puncak peringatan Hari Pers Nasional 2016 di Pantai Kuta, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/2).
Upaya membangun kepercayaan itu menjadi tantangan pada era kemerdekaan pers karena arus informasi mengalir deras, beragam, bahkan kadang menyesatkan dan mengganggu akal sehat. Informasi yang dimaksud yang tidak berdasarkan fakta, mengandung opini, bahkan kadang terjebak pada upaya mengejar sensasi semata.
Beberapa media massa daring (online), menurut Presiden, menyajikan pemberitaan yang tidak akurat karena mengejar kecepatan tayang. Selain itu, pemberitaan juga tidak berimbang, rancu antara fakta dan opini penulisnya, bahkan terkadang pemberitaan itu bersifat menghakimi.
TERORISME
Anggota NIIS Divonis Bersalah
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis tujuh pengikut atau simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah dengan hukuman 3-5 tahun penjara. Para terpidana itu pernah pergi ke Suriah sebagai pengikut NIIS pada 2014 kemudian tinggal di negara itu selama 3-7 bulan.
Ketujuh simpatisan/pengikut Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang divonis itu adalah Helmi Muhammad Alamudi, Tuah Febriawansyah, Ahmad Junaedi, Aprimul Henry alias Abu Adim, Ridwan Sungkar alias Abu Bilal, Abdul Hakim Munadari, dan Koswara alias Ibnu Abdillah atau Abu Hanifah.
Majelis hakim PN Jakarta Barat yang terdiri dari Achmad Fauzi, Mochammad Arifin, dan Syahlan mengatakan, tujuh simpatisan/pengikut NIIS itu telah menyebarkan paham radikal, menyembunyikan teroris, dan menimbulkan rasa takut atau teror kepada warga lainnya yang tidak sepaham dengan mereka.
TRADISI ILMIAH
Memori Kelam GMT 1983 Jangan Sampai Terulang
Gerhana matahari total yang melintasi Pulau Jawa, Sabtu, 11 Juni 1983, merupakan kenangan pahit bangsa Indonesia. Saat banyak peneliti dan wisatawan asing ke Indonesia, masyarakat justru terkurung dalam rumah dan kolong meja yang gelap.
Sebagian besar orang yang tinggal di Pulau Jawa pada masa itu tentu mengalaminya. Sejak pagi, aparat keamanan dan pemerintah desa berkeliling mengingatkan warga agar menutup semua jendela, lubang angin, dan genteng kaca untuk menghalangi sinar matahari masuk rumah. Dengan alasan cahaya gerhana matahari bisa menyebabkan buta, pemerintah memaksa rakyatnya diam dalam rumah.
Suasana rumah yang gelap di pagi hari itu ternyata belum cukup. Anak-anak diminta bersembunyi di kolong meja atau dalam lemari karena dianggap cahaya gerhana matahari lebih berbahaya bagi mereka dibandingkan bagi orang dewasa. Sesekali, mereka diizinkan melihat tayangan suasana gerhana matahari yang disiarkan Televisi Republik Indonesia (TVRI) langsung dari Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
No comments:
Post a Comment