Kompas, Edisi, Jumat, 2 Oktober 2015 |
Pancasila Jangan Jadi Slogan Kosong
Keadilan Sosial Kunci Mencegah Radikalisme dan Intoleransi
JAKARTA, KOMPAS — Para elite politik, tokoh masyarakat, dan agamawan punya tanggung jawab besar mendorong aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Pembiaran terhadap penggerogotan Pancasila yang merupakan landasan pembentukan bangsa bisa berujung pada runtuhnya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.
Munculnya sejumlah kasus, seperti kesenjangan sosial, korupsi, radikalisasi, dan intoleransi, menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia untuk lebih serius merevitalisasi nilai-nilai Pancasila.
Hal ini terjadi, menurut pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, di Jakarta, Kamis (1/10), karena Pancasila merupakan syarat utama bangsa Indonesia untuk saling menerima kondisi yang majemuk dari sisi etnis, orientasi keagamaan, dan budaya.
PALESTINA
Pengibaran Bendera di PBB, Momen Bersejarah
New York City, KompasBendera Palestina untuk pertama kali berkibar di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (30/9), di New York City, Amerika Serikat. Presiden Palestina Mahmoud Abbas meminta badan dunia itu menjamin keanggotaan penuh Palestina.
"Ini merupakan momen bersejarah. Saya berseru kepada rakyat saya di mana pun, naikkan bendera Palestina setinggi-tingginya karena itu adalah simbol identitas kita," kata Abbas.
Wartawan Kompas, Wisnu Dewabrata, yang menghadiri upacara pengibaran bendera Palestina, melaporkan, upacara dihadiri Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Ratusan diplomat dan jurnalis asing dari sejumlah negara memadati lokasi acara. Mereka bergembira saat bendera berwarna merah, hitam, putih, dan hijau itu mulai berkibar.
Dalam sambutannya, Ban Ki-moon mengungkapkan, "Kini saatnya Israel dan Palestina kembali percaya diri mewujudkan penyelesaian damai dan mewujudkan dua negara untuk dua bangsa."
SUMBER AIR ALTERNATIF
Panen Air Hujan yang Membebaskan dari Krisis Air
Muhammad Ibnu (10), siswa SDN Sumur Wuni di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, memutar keran instalasi air bersih di sekolahnya, Selasa (22/9). Ia menggunakan air hasil memanen air hujan itu untuk mencuci tangan.
Tahun-tahun sebelumnya, Ibnu dan siswa lain harus bekerja keras memperoleh air bersih untuk kebutuhan di sekolah. Tak jarang mereka harus membawa ember untuk meminta air kepada warga sekitar yang masih memiliki sumber air.
Di wilayah Argasunya, air sulit diperoleh karena lokasinya tidak terjangkau oleh jaringan air PDAM. Sekolah Ibnu hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Cirebon, berada di perbukitan menuju ke arah perbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kuningan, Jawa Barat.
Wilayah Argasunya berada di kawasan bercadas sehingga tanahnya kering kerontang dan air sulit didapat saat kemarau. Dari tahun ke tahun, saat kemarau, kekeringan melanda Argasunya. Empat sekolah dasar di daerah itu, yakni SD Sumur Wuni, SD Cadas Ngampar, SD Silih Asah I, dan SD Silih Asah II, kekurangan air bersih di musim kemarau.
No comments:
Post a Comment